Yang Sebenarnya

Hai Tuan,

Bagaimana rasanya mendapatkan atensi penuh dari hal yang hanya kau ceritakan sebagian?

Mungkin memang semua kesalahanku sejak awal karena aku terlalu mudah membagikan cerita kebaikanmu di sosial media sementara kamu hanya bercerita di sana setiap kita bertengkar, jadi akan lebih mudah bagi teman-teman dan pengikutmu untuk percaya bahwa sepenuhnya adalah kesalahanku.

Tidak munafik, akupun sempat berpikir kalau perpisahan ini salahmu saat aku menutup mata soal kenyataan bahwa aku memang meninggalkanmu dan segudang mimpi kita di belakang. Sampai saat tadi malam, temanku bercerita bahwa lagi-lagi kamu membagikan sepotong cerita itu pada pengikutmu dan aku tersadar bahwa sedikit-banyak, ini juga kesalahanku.

Maaf, kalau meninggalkanmu ternyata semenyakitkan itu bagimu. Tapi entah kamu sadar atau tidak, aku sudah mencoba untuk bertahan berkali-kali. Bertahan dengan kamu yang pada setiap pertengkaran selalu mengucap "aku janji bakal berubah", tapi sedikitpun aku tidak bisa melihatnya.

Aku dibesarkan oleh seorang laki-laki yang selalu berkata "bahagiakanlah dirimu sendiri dulu, persoalan menikah pikirkan saja nanti", dan bisa dikatakan itu alasanku mudah meninggalkan saat aku sudah tak lagi merasa bahagia dalam satu hubungan.

Percayalah, bahwa yang meninggalkan belum tentu berniat menyakiti. Terkadang, mereka hanya ingin melindungi diri sendiri dari hal-hal yang bisa membuatnya menggila.

Boleh kita mundur sedikit pada saat sebelum perpisahan?

Kamu ingat saat kamu mencari penyakitmu sendiri dengan membaca pesan langsung milikku dan sahabat laki-lakiku? Pesan yang sudah ada sejak tahun 2017, jauh sebelum kita bertemu dan entah kenapa kamu menjadikan itu alasan untuk memulai pertengkaran.

Juga saat aku sudah memberitahumu di pagi hari bahwa setelah pesta akhir tahunku bersama teman-teman kantor, aku masih ingin lanjut berbincang dengan beberapa dari mereka. Mungkin aku yang salah karena tidak langsung memberi kabar sesaat setelah berpindah tempat karena terlalu asyik mengobrol. Tapi kenapa bahkan saat aku sudah mengabari pun, kamu tetap seperti orang kesetanan, Tuan? Membanjiri ponsel pintarku dengan puluhan pesan dan panggilan yang aku abaikan karena tidak ingin membuat suasana saat itu menjadi canggung.
Padahal saat kamu sedang menghabiskan waktu bersama teman-temanmu, aku tidak pernah sampai segitunya. Sesederhana karena aku sadar bahwa mau bagaimanapun, kita tetap butuh bersosialisasi dengan orang lain.

Bagaimana dengan kejadian sesaat setelah tahun baru setelah kita sempat berpisah? Aku masih ingat betul bagaimana ekspresimu saat mendapati aku sedang bertukar pesan dengan teman lama dari kampus yang sama. Kamu sangat amat tidak senang dan berlanjut mencaritahu dengan siapa saja aku bertukar pesan dan meminta aku untuk terbuka. Lalu aku melakukan hal yang sama (mencaritahu dengan siapa saja kamu bertukar pesan selama kita berpisah) dan tidak menemukan apapun. Aku sempat kagum saat itu. Hingga beberapa hari kemudian saat aku merasa ada yang janggal, kamu akhirnya bercerita bahwa kamu menghapus pesan dari perempuan lain di hari yang sama saat kamu memintaku kembali. Kecewa. Sakit. Bukan saja karena mendapatimu berbohong, tapi juga karena kamu memintaku untuk terbuka, saat kamu sendiri menyembunyikan sesuatu. Aku masih merasa bodoh kalau mengingat itu.

Atau saat aku sedang ingin membahas pekerjaan bersama atasanku? Pemilihan tempat dan hari mungkin memang membuatmu salah paham, tapi aku sudah menjelaskan bahwa aku memang butuh suasana yang santai di luar kantor. Masih ingat? Itu saat kita sudah berpisah dan aku sedang memberimu kesempatan terakhir untuk berubah, lalu kamu malah dengan santainya berkata "lagi PDKT kan sama dia?" dan tuduhan lainnya yang tak bisa aku tuliskan di sini.

Ketahuilah, Tuan, itu adalah puncak lelahku menghadapi segala sifatmu yang berkali-kali kamu ulang bahkan setelah berkali-kali berjanji "aku bakal berubah, aku janji."

Aku juga sadar bahwa aku bukanlah manusia yang sempurna. Aku acap kali cemburu saat mendapatimu berbalas mention yang mengarah rayuan dengan pengikutmu karena entah kamu ingat atau tidak, kita berawal dari hal yang sering kamu sebut "aku hanya ingin mencoba ramah."

Aku lelah.
Aku sangat lelah.
Itulah alasanku ingin berpisah.

Aku akui, Tuan, kamu baik. Kamu pernah membantuku dalam banyak hal tapi maaf Tuan, aku hanya manusia biasa yang juga bisa merasa lelah saat terlalu sering dikontrol.
Kepergianku adalah titik lelahku menghadapi kamu, dan
Tulisan ini adalah titik lelahku mendapati kamu terus saja membicarakan potongan cerita yang menjurus.

Aku hanya ingin tenang.
Maaf kalau perbincanganku di podcast teman-temanku adalah awal yang membuatmu jadi seperti ini.
Tolong juga berhenti untuk mengarahkan pembicaraan teman-temanmu yang bertanya soal kekasih barumu menjadi pembicaraan yang menjatuhkanku.
Aku tahu aku tidak sempurna dan tidak secantik kekasih barumu.
Karena itu berfokuslah pada kekasih barumu.
Bahagiakan dia melebihi kamu membahagiakanku dulu.

Melalui tulisan ini, aku meminta maaf bila kepergianku memang semenyakitkan itu bagimu.

Comments

  1. dear mba nurul shanty dewantari , jika kau mmembaca ini , berrti tuhan mungkin memberikan sapaan namun melalui ku , atau tuhan memberiku pelajaran dari tulisanmu

    entah kenapa aku mengetik ini

    perempuan seperti mu layak di bahagia , layak di cintai , dan layak mendapat surprise dari tuhan yang belum bisa di lihat , tetap berteguh hati dan jalani hidup dengan berbagi kasih kepada sesama dan orang orang di sekitar mu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai kamu,

      Terima kasih atas komentar hangatnya. Semoga kamu dan orang yang kamu kasihi selalu sehat dan berbahagia.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

cieeee

Laki-Laki Bilang...

Untuk Kamu