Posts

Showing posts from 2017

Sore Itu di Stasiun Tanah Abang

Pada lobby antar peron stasiun Tanah Abang, aku terpaut pada satu wajah laki-laki yang tidak terlalu tampan tapi tetap menarik untuk dilihat. "Kereta tujuan Pondok Ranji ada di peron berapa, ya?" Ia menghampiriku. "Di peron 5 sama 6 bisa, mas." Jawabku sebisa mungkin menahan untuk tak menunjukan rasa senang yang pasti akan terlihat konyol jika aku tak bisa mengendalikannya. "Mbaknya mau ke arah sana juga?" "Iya, mas. Kebetulan mau ke Pondok Ranji juga." Aku tersenyum, dengan kedua earplug masih mengganjal di kedua telingaku. "Wah, enak dong jadi ada temen ngobrol." Ia mulai memasukkan gadgetnya ke dalam tas yang ia kenakan di depan badannya. Untuk menghargainya, aku hanya menjawab dengan sebuah senyum simpul sambil melepas kedua earplugku tapi masih kugenggam telepon pintar milikku. Bersiap mendengarkan basa-basinya yang jika membosankan, aku bisa alihkan perhatianku pada media sosial yang siap untuk ditengok kapanpun.

Luka

Dia bukannya sempurna, kamu hanya lupa kalau manusia selalu pandai dalam mendatangkan kecewa. Hanya menunggu waktu yang tepat agar dia bisa meninggalkan yang sulit kamu lupa; luka. Yang bisa kamu lakukan setelahnya? Mengutuki diri sendiri karena pernah membiarkannya memegang kendali atas bahagia dan sedihmu. Selalu seperti itu, bukan? D an, kamu mulai berpikir bahwa mereka yang mendekat akan melakukan hal yang sama; melukaimu kembali. Padahal belum tentu. Lalu s emua terlihat abu; antara yang nyata dan yang semu. Karena tak ingin kembali terjatuh, kamu mulai memainkan peranmu tanpa hati. Sampai saatnya kamu bertemu seseorang yang lain, yang mampu memperlakukanmu secara spesial t api kamu terlalu takut untuk membuka diri. Terlalu takut untuk kembali kecewa. Hingga yang bisa kamu lakukan hanyalah menikmati. Menikmati selagi bisa, menikmati selagi belum kembali patah. Hingga kamu tenggelam bersama arus yang kamu buat sendiri. Kamu kembali memakai hati tanpa kamu sadari. Entah kap

Maaf?

Tidak, jangan meminta maaf padaku. Minta maaflah pada laki-laki yang setelah kamu karena kamu, aku kelewat takut membuka hati untuk mereka. Padahal bisa jadi, mereka yang datang benar-benar ingin mengobati dan merawat, bukan mengobati lalu kembali melukai seperti yang kamu lakukan kemarin. Meminta maaflah pada laki-laki yang setelah kamu karena setelah kepergianmu, aku membangun tembok tebal pada pintu masuk yang kemarin dengan mudahnya kamu ketuk dan singgahi. Aku hanya terlalu takut akan dilukai kembali padahal bisa jadi, laki-laki setelah kamu adalah laki-laki yang lebih baik dari kamu. Meminta maaflah pada laki-laki yang setelah kamu karena setelah kepergianmu, aku sulit mempercayai ketulusan seseorang. Yang aku yakini saat ini adalah semua laki-laki yang mencoba mendekatiku hanya ingin melukaiku kembali padahal belum tentu. Aku bukannya berburuk sangka pada mereka namun kamu yang membuatku berpikir seperti itu. Aku bukannya tidak mampu memaafkan kamu, aku hanya tidak

Kita, Agama, dan Tuhan

Kalau memang berbeda keyakinan yang menyebabkan kita tidak bisa bersama, lalu kenapa Tuhanmu dan Tuhanku seperti bekerjasama untuk mempertemukan kita? Kalau memang berbeda rumah ibadah yang membuat kita tidak bisa seromantis pasangan lain, lalu kenapa Istiqlal dan Katedral selalu terlihat romantis bagiku? Bukankah dalam Alkitabmu tertulis “apa yang disatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan manusia”, lalu bagaimana kalau manusia lain memisahkan kamu dan aku dengan alasan perbedaan? Dalam kitabku pun tertulis “daun jatuh pun sudah diatur olehNya”, bukankah itu berarti pertemuanku denganmu serta perihal aku mencintai kamu itu juga atas kehendakNya? Lalu kenapa orang sekitar bersikap seperti Tuhan yang merasa berhak menentukan kebahagiaanku? Aku yakin Tuhan tak pernah sejahat itu; mempermainkan hatiku dengan mengirim kamu untuk menguji aku lebih mencintai Tuhanku atau ciptaanNya. Yang aku yakini adalah Tuhan selalu ingin hambaNya bahagia dan Dia mengirim kamu untuk kebahagiaanku.

Apa Kabar?

Kita apa kabar? Kita yang dulu pernah saling menyayangi satu sama lain sebelum akhirnya saling menyakiti. Kita yang dulu pernah menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya pergi melanjutkan hidup masing-masing. Kita yang dulu saling memuji sebelum akhirnya saling menghina. Entah siapa yang salah. Entah siapa yang mulai. Yang aku tahu saat terbangun, kamu pergi bersama perempuan lain yang kamu pikir bisa menyayangimu lebih dari aku. Bahagiakah kamu sekarang? Aku benar-benar berharap jawabannya adalah “iya” dan aku berharap saat menjawabnya, kamu tidak membohongi dirimu sendiri. Oh, ayolah, aku tidak munafik. Aku benar-benar berharap kamu sudah mampu melupakanku sepenuhnya dan tidak menjadikan perempuan barumu itu sebagai pelarian seperti yang pernah kamu lakukan sebelum bertemu aku. Tidak, aku tidak bersedih sama sekali atas kepergianmu. Aku justru merasa bebas. Seperti seekor burung yang berhasil melarikan diri dari sangkarnya. Tahu rasanya? Ya, bahagia sek