Tentang Pernikahan

Menikah bukanlah tujuan utamaku dalam hidup. Ya, meski terkadang iri juga melihat teman-teman satu angkatan di masa sekolah sudah membagikan undangan pernikahan di sana-sini. Kadang terpintas pertanyaan "siapa, ya, yang namanya akan tertulis di undanganku nanti?" Ah, tapi sepertinya, kalau nanti aku menikah pun, aku tak ingin dirayakan. Menjadi panitia pernikahan tetangga dan keluarga besar saja sudah membuatku lelah. Terlebih, aku tak terlalu suka basa-basi dengan orang lain.

Eh tunggu, tujuanku menulis ini bukan untuk menjabarkan itu.

Aku kadang berpikir, "apa, ya, yang bisa membuat seseorang bisa seyakin itu untuk menghabiskan waktu seumur hidup dengan pasangannya? Bagaimana kalau nanti bosan di tengah jalan? Atau sekadar lelah bertengkar karena hal kecil? Bagaimana orangtuaku bisa mantap saling memilih satu sama lain puluhan tahun lalu?"

Dulu aku sempat ingin nikah muda. Targetku dulu itu umur 24 tahun harus sudah menikah. Aku semakin yakin akan terwujud karena pada tahun 2015, aku memiliki seorang lelaki yang mengajakku untuk menjalin hubungan dengan komitmen.

"2017 nanti, kita nikah, ya." Ucapnya saat itu.
Aku senang bukan main.

Sampai akhirnya aku tahu dia selingkuh. Berkali-kali. Sakit rasanya. Bukan, bukan sakit karena merasa dikhianati, melainkan sakit karena aku terus menerus berpikir, "aku ini banyak kurangnya, ya?" Sialnya, jawabannya adalah "iya."

Malas rasanya mengingat kejadian saat itu. Kejadian di mana saat ingin meninggalkan, aku terus berpikir "apa nanti ada yang mau sama kamu lagi? Kamu itu jelek, makanya diselingkuhi. Dia gak mutusin kamu dan mau ngajak kamu nikah aja, harusnya bersyukur." Hingga entah dapat bisikan darimana, aku memutuskan untuk menyudahi semuanya di tahun 2016.

Tahun demi tahun aku lewati dengan keadaan belum lulus kuliah dan tidak punya tempat berbagi. Yang aku lakukan hanya kabur dari realita dan main game gila-gilaan. Dan, targetku untuk menikah pun mundur dan menunjuk angka 27. Ya, saat itu aku ingin menikah di usia yang menurut sebagian orang, terlalu tua bagi perempuan untuk menikah. Masa bodoh.

Hingga di akhir 2018, aku bertemu seorang laki-laki yang masih mau menemaniku hingga detik tulisan ini diketik. Ceritanya agak rumit. Yang jelas, dia tidak pernah mau menyerah untuk hubungan kami. Yang jelas, selama bersamaku, dia belum pernah selingkuh. Semoga tak akan.

Suatu hari, bayangan soal aku ingin menikah dengan laki-laki ini di usia 27 tahun pun muncul. Bersamaan dengan pertanyaan lain seperti "apa dia mau membantuku mengurus segala urusan rumah tangga nantinya? Apa dia tidak akan keberatan soal aku yang tidak pandai memasak? Apa dia akan melarangku bekerja nantinya?" Juga pertanyaan-pertanyaan lain yang ikut meramaikan seisi kepalaku saat berpikir tentang pernikahan.

Hingga di satu waktu, kami berbincang sejenak tentang cicilan rumah dan semacamnya. Lalu, tiba-tiba ia berkata "nanti, dua atau tiga tahun lagi, kamu mau gak jadi istri aku?" Aku menangis haru, diiringi pikiran buruk menyangkut masa lalu. "Apa akan berakhir sama seperti sebelumnya?" Pikirku. Namun, aku menjawab "ya, aku mau", di depannya dan berusaha menyingkirkan pikiran buruk itu.

Dan kini, aku berada pada titik pasrah. Titik di mana aku berpikir "nikah setelah melewati usia 27 pun tak apa, asal hasilnya baik", pikirku sambil berserah pada Tuhan dan berkata, "Tuhan, jika memang dia orangnya, maka lancarkanlah. Jika bukan, tolong kuatkan hatiku saat waktunya tiba. Aku percaya rencanamu akan selalu baik."


Tangerang Selatan,
19 Agustus 2019

Comments

  1. Terwakili sekali dengan tulisan ini. Sempat percaya namun akhirnya terluka dan hingga kini tak ingin percaya pada siapapun. Dan aku pun belum ada niat meruntuh benteng persembunyian yg kokoh ku bangun setelah perginya dia. 😌

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

cieeee

Laki-Laki Bilang...

Untuk Kamu